Pages

Minggu, 25 Desember 2011

Mendidik adalah Memanusiakan Manusia


Salah satu topik dalam ranah polemik pendidikan nasional adalah gugatan terhadap rendahnya kualitas output lembaga-lembaga pendidikan kita. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Respons positif terus mengalir.
Berbagai kebijakan dan regulasi untuk memperbaiki kualitas pendidikan digelindingkan. Mulai dari bongkar pasang kurikulum, penggantian undang-undang, deregulasi pendidikan, sampai dengan upaya meningkatkan anggaran pendidikan. Namun, cita-cita kita untuk mendongkrak kualitas pendidikan (baca: kualitas lulusan) masih jauh dari harapan.
Tengoklah betapa terpuruknya pendidikan kita. Dari 500 perguruan tinggi terbaik di dunia, tak satu pun terdapat perguruan tinggi kita. Daya saing SDM kita hanya menempati urutan ke-109 dari 174 negara (riset UNDP 2000). ”Rapor merah” ini adalah sinyal bahwa sistem pendidikan kita belum terintegrasi dengan benar sehingga kualitas lulusan yang kita hasilkan masih belum memiliki daya saing.
Menarik apa yang pernah dikemukakan Said Aqil Siraj bahwa pendidikan bukan sekadar peningkatan potensi intelgensia (IQ), tetapi dalam pendidikan juga harus mengalir proses sosialisasi dan enkulturisasi. Dua proses tadi diharapkan mampu menimbulkan kesadaran hakiki yang bertumpu kepada pemaknaan hidup secara lebih human. Pemikiran ini jelas merefleksikan bahwa dalam suatu proses pendidikan perlu adanya pendekatan holistik.
Pendekatan holistik dalam proses pendidikan menuntut penyelenggara pendidikan untuk tidak hanya mentransfer knowledge, skills, tetapi juga attitude kepada peserta didiknya. Proses pendidikan ini mengawinkan hal-hal yang bersifat obyek material dengan obyek formal (attitude), meliputi spiritualisme, moral, etika, dan budaya. Konsep ini juga sejalan dengan konsep Lima Visi Pendidikan dari Unesco: Learning how to think, how to do, how to be, how to learn, how to live together.
Mendidik bukan menciptakan mesin-mesin manusia. Dalam istilah Jurgen Habermas disebut sebagai hegemoni ratio instrumentalis. Sistem pendidikan yang digelontorkan dengan sistem satu sisi mata uang ini, menurut dia, akan menghasilkan output manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri atau one dimensi man. Mendidik adalah suatu proses memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia membutuhkan nilai-nilai egaliter dan suasana demokratis.
Saat ini, dengan berbagai dalih, misalnya fobia yang berlebihan terhadap globalisasi, iklim sistem pendidikan kita dibius untuk hanya menghasilkan tenaga- tenaga yang siap pakai dan mampu bersaing dengan negara lain. Lalu, kita mati-matian mencekoki anak didik dengan pengetahuan dan keterampilan tanpa memikirkan aspek pendidikan moralnya. Dogmanya, yang penting siap pakai (baca: siap dieksploitasi) dan tak gagap teknologi. Lagi-lagi soal memintarkan manusia menjadi titik mutlak.
Pendidikan bukan sekadar mencetak tenaga kerja yang siap pakai, pendidikan adalah proses membentuk generasi yang siap memerankan hidup, bukan sekadar siap pakai. Ironisnya, sebagian besar pelaku pendidikan secara sadar lebih mementingkan hal-hal yang bersifat material semata.
Mereka umumnya cukup puas ketika peserta didiknya mampu menyerap pengetahuan dan keterampilan yang mereka ajarkan. Sebaliknya, mereka bersikap skeptis ketika terjadi dekadensi moral pada output yang mereka hasilkan. Lalu membentengi diri dengan teori bahwa rusaknya moral seseorang karena faktor keturunan. Padahal, akar masalahnya, karena para pelaku pendidikan tidak pernah secara maksimal memberikan pendidikan moral secara baik kepada peserta didiknya.
Dalam sistem pendidikan holistik, proses produksi pendidikan tidak memakai parameter tunggal dalam mengukur keberhasilan. Mesin pendidikan tidak lagi menjadikan peningkatan potensi intelegensia sebagai menara gading. Potensi-potensi lain, seperti emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ), juga perlu ditransfer ke peserta didik. Ini agar output yang dihasilkan benar-benar manusia yang telah dimanusiakan, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan moral yang baik. Dalam istilah klasik kita sebut sebagai ”manusia Indonesia seutuhnya”.
Untuk itu dibutuhkan metode andragogi dalam setiap proses pendidikan. Dengan metode ini, kita menjadikan anak didik sebagai subyek pendidikan, bukan sebagai bahan eksploitasi. Ada nuansa demokratis di setiap alur proses belajar. Pendidik tidak lagi dikultuskan sebagai sosok yang superior yang gemar memaksakan kehendak. Dalam metode ini tugas pendidik adalah memfasilitasi (sebagai fasilitator) dan memotivasi agar atmosfer belajar lebih aktif, manusiawi, dan demokratis. Dengan memberi ruang gerak semacam ini dapat memotivasi peserta didik untuk kreatif dan inovatif.
Jika kita simak Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dipopulerkan sejak tahun 2002, tampaknya KBK akan memberikan harapan dan melahirkan solusi jitu bagi persoalan pendidikan di Tanah Air. Filosofi KBK adalah merangsang kemandirian peserta didik dengan mengurangi superioritas pendidik.
Kurikulum anyar ini mengarahkan setiap alur proses belajar-mengajar dibalut dengan unsur attitude (sikap/moral), skills (keterampilan), knowledge (pengetahuan), experience (pengalaman), responsibility (tanggung jawab), dan accountability (pertanggungjawaban). Peserta didik juga dituntut untuk melakukan belajar mandiri (active learning). KBK juga telah memenuhi tiga unsur PAKEM pembelajaran, yaitu aspek kognitif (pengetahuan), psikomotorik (keterampilan), dan afektif (moral).
Jika semua metode ini dijalankan, idealnya menghasilkan output yang memiliki life skills yang secara teknis dan moral siap memerankan hidup di masyarakat. Dan, impian kita untuk menjanjikan sebagai lokomotif pembangunan bukan lagi fatamorgana.Oleh: Indra Priamudi

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
Belajar dari kesalahan, mengendalikan diri dan menerima kekurangan orang lain adalah hal besar yang perlu dipelajari. Teruslah Berkarya dan Anggap Suatu Masalah Sebuah Seni Kehidupan. Djanggan Cahya Buana, 21 Desember.

Artikel

Berpikir dan Berjiwa Besar Percaya Anda dapat berhasil, Keberhasilan seseorang ditentukan oleh besarnya cara berpikir seseorang, Keraguan, ketidakpercayaan, keinginan bawah sadar untuk gagal, perasaan tidak benar-benar ingin berhasil, bertanggung jawab atas sebagian besar kegagalan. Berpikir ragu maka Anda gagal. Berpikir menang maka Anda berhasil. Kepercayaan diri berhubungan dengan rasa berharga dalam diri manusia. Setiap orang adalah produk dari pikirannya. Percayalah akan hal-hal yang besar. Langkah pertama (dasar) menuju keberhasilan adalah percayalah kepada diri sendiri, percayalah bahwa Anda dapat berhasil.